Kamis, 02 April 2009

Anak berbakat

Anak berbakat pada dasarnya memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Karena itu, diperlukan adanya penanganan khusus untuk anak-anak berpotensi luar biasa ini. Namun sayangnya, penanganan anak berbakat belum mendapatkan perhatian serius, baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat. Layanan pendidikan untuk anak berbakat di Indonesia masih relatif terbatas. Kesadaran para guru dan orangtua akan kebutuhan anak berbakat juga dirasa kurang.
Mengingat demikian pentingnya peran guru dan orang tua dalam mendampingi anak berbakat, diperlukan suatu penelitian untuk mengungkap sejauh mana guru dan orang tua memahami kebutuhan anak berbakat. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pandangan guru dan orang tua terhadap ciri-ciri anak berbakat dan usaha-usaha yang telah mereka lakukan untuk mengidentifikasi dan menangani anak-anak berbakat.
Penelitian ini bersifat eksploratif mengingat masih minimnya penelitian mengenai anak berbakat di Indonesia, khususnya di Surabaya. Metode yang digunakan adalah kualitatif-interpretatif. Subjek dalam penelitian ini adalah para guru (termasuk di dalamnya Kepala Sekolah dan wakil dari yayasan pendidikan) dari 11 sekolah yang ada di Surabaya dan tiga orangtua anak berbakat. Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur. Untuk membantu proses pencatatan data digunakan alat perekam (tape recorder). Teknik pemeriksaan data yang dipakai adalah perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, dan pemeriksaan sejawat melalui diskusi. Pemeriksaan data menunjukkan bahwa data relatif bisa dipercaya dan cukup absah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden umumnya memandang keberbakatan lebih sebagai ‘performansi’ (prestasi dan perilaku belajar di kelas yang tampak) daripada sebagai ‘potensi’. Dengan demikian, para guru cenderung menganggap karakteristik ‘anak berbakat’ sama dengan karakteristik ‘anak berprestasi’. Mereka melakukan identifikasi terhadap anak berbakat hanya berdasarkan pada hasil prestasi belajar dan pengamatan terhadap perilaku belajar di kelas. Sebagai akibat dari pemahaman yang keliru terhadap pengertian keberbakatan ini, anak berbakat yang berprestasi kurang (underachiever) luput dari perhatian guru. Dalam hal penanganan anak berbakat, sebagian besar responden guru (83%) menyatakan bahwa mereka belum melakukan upaya-upaya penanganan khusus untuk anak-anak berbakat. Hanya 1 sekolah yang telah menyelenggarakan kelas akselerasi. Beberapa sekolah yang lain ragu-ragu bahkan menolak untuk membuka kelas akselerasi karena mengkhawatirkan dampak negatifnya terhadap perkembangan sosio-emosional anak, biaya penyelenggaraan kelas akselerasi yang terlalu mahal, dan terbatasnya kompetensi pengajar serta rancangan kurikulum yang sesuai untuk anak berbakat.
Sementara itu, para orangtua anak berbakat telah melakukan identifikasi terhadap keberbakatan anak sejak dini melalui pengamatan sehari-hari dan tes inteligensi yang dilakukan oleh psikolog. Usaha-usaha yang mereka lakukan tergolong optimal, di antaranya dengan menyediakan fasilitas belajar, melatih sendiri anak dengan berbagai macam ketrampilan, serta mengusahakan pendidikan formal (sekolah) yang terbaik sesuai dengan keberbakatan anak. Namun, seringkali orangtua mengalami kekecewaan karena sekolah pada umumnya belum memberikan layanan pendidikan khusus untuk anak berbakat. Selain itu, para guru dianggap masih sulit memahami ciri-ciri khusus dari anak berbakat sehingga seringkali mereka salah paham dengan perilaku anak.
Beberapa saran yang diusulkan dalam penelitian ini antara lain adalah: (1) penyebarluasan informasi dan pelatihan kepada para guru dan calon guru tentang masalah-masalah keberbakatan, di antaranya mengenai ciri-ciri anak berbakat, berbagai alat ukur untuk mengidentifikasi keberbakatan, dan program-program penanganan khusus untuk anak berbakat di samping kelas akselerasi; (2) tersedianya sistem pendukung untuk para guru dan sekolah dalam proses identifikasi dan penanganan anak berbakat; (3) perlunya upaya-upaya untuk mengembangkan ketrampilan sosial dan kemampuan berempati pada anak berbakat; dan (4) peningkatan kerjasama antara guru dan orangtua dalam proses identifikasi dan penanganan anak berbakat.

Tidak ada komentar: