Jumat, 03 April 2009

makalah

Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi

Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi.

Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan criteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang artifisial.

Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal henti. Dengan semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang besar kepada keseejahteraan umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat manusia. Akan tetapi, sekali lagi, dengan perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan moralitas agama, jargon saintis sebagai pencari kebenaran tampaknya perlu dipertanyakan. Apalagi bila dilihat data-data beriktu:

Di pusat riset Porton Down di Inggris para saintis memakai binatang-binatang yang masih hidup untuk menguji coba baju anti peluru. Hewan-hewan tersebut dimasukkan ke dalam troli yang kemudian diledakkan. Pada awalnya, monyet yang dipakai dalam berbagai eksperimen tetapi para saintis kemudian menggantinya dengan babi. Binatang-binatang tersebut ditembak persis di atas mata untuk meneliti efek daripada misil berkecepatan tinggi pada jaringan otak.

Di Amerika Serikat, di akhir tahun 40-an, anak-anak remaja diberi sarapan yang dicampuri radioaktif, ibu-ibu setengah baya disuntik dengan plutonium radioaktif dan biji kemaluan para tahanan disuntik radiasi – semua atas nama sains, kemajuan dan keamanan. Eksperimen-eksperimen ini diadakan sejak tahun 1940-an sampai 1970-an (Brown, 1994).

Selama tahun 1950-an, 60-an dan 70-an, menurut New York Times, wajib bagi seluruh mahasiswa baru, laki-laki dan perempuan, di Harvard, Yale dan universitas-universitas elit lain di Amerika, difoto telanjang untuk sebuah proyek besar yang didisain dalam rangka untuk menunjukkan bahwa ‘tubuh seseorang’ yang diukur dan dianalisa, dapat bercerita banyak tentang intelegensia, watak, nilai moral dan kemungkinan pencapaiannya di masa depan. Ide ini berasal dari pendiri Darwinisime Sosial, Francis Galton, yang mengajukan foto-foto arsip tersebut untuk dewan kependudukan Inggris. Sejak awal tujuan dari pemotretan-pemotretan ini adalah egenetika. Data-data yang terakumulasi akan dipakai sebagai proposal untuk ‘mengontrol dan membatasi produksi organisme dari orang-orang yang inferior dan tidak berguna’. Beberapa organisme tipe terakhir ini akan dikenakan sangsi bila melakukan reproduksi … atau akan disteril (Rosenbaum, 1995).

Sementara itu media televisi, sebagai hasil pencapaian teknologi modern yang paling luas jangkauannya memiliki dampak sosio-psikologis sangat kuat pada pemirsanya. Beberapa hasil studi berhasil menguak hubungan antara menonton televisi dengan sikap agresif (Huismon & Eron, 1986; Wiegman, Kuttschreuter & Baarda, 1992), dengan sikap anti social (Hagell & Newburn, 1996), dengan sikap aktifitas santai (Selnon & Reynolds, 1984), dengan kecenderungan gaya hidup (Henry & Patrick, 1977), dengan sikap rasial (Zeckerman, Singer &Singer, 1980), kecenderungan atas preferensi seksual (Silverman – Watkins & Sprafkin, 1983), kesadaran akan daya tarik seksual (Tan, 1979), stereotype peran seksual (Durkin, 1985), dengan bunuh diri (Gould & Shaffer, 1986), identifikasi diri dengan karakter-karakter di televisi (Shaheen, 1983).

Hasil-hasil studi yang lain tentang dampak-dampak televisi menunjukkan indikasi yang cenderung ‘agak menggembirakan’. Seperti adanya kesadaran akan segala peristiwa yang terjadi di seluruh dunia (Cairn, 1990), kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara (Conway, Steven & Smith, 1975), bertambhanya pengetahuan akan geografi (Earl & Pasternack, 1991), meningkatnya pengetahuan tentang masalah politik (Furnham & Gunter, 1983), bersikap pro social (Gunter, 1984).

Tetapi perlu dicatat bahwa sejak munculnyaera televisi dibarengi dengan timbulnya berpuluh-puluh channel dengan menawarkan berbagai acara-acara yang menarik dan bervariasi, umat Islam hanya berperan sebagai konsumen, orang Barat-lah (baca, non-Muslim) yang memegang kendali semua teknologi modern tak terkecuali televisi. Dari sini beberapa permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan Islam, mencuat ke permukaan. Pertama, apa langkah yang harus ditempuh oleh setiap Muslim, orang tua dan para pendidik, dalam upaya mengantisipasi dan merespon sejak dini gejala-gejala distorsi moral yang adiakibatkan oleh media televisi, internet dan media-media audio visual lainnya?

Kedua, bahwa Barat merupakan satu-satunya pemegang peran kunci dari seluruh media berita baik media cetak, maupun media elektronik. Seperti dimaklumi pemberitaan-pemberitaan tersebut banyak mengandung bias, khususnya bila ada kaitan langsung atau tidak langsung dengan dunia Islam. Ketiga, sains dan teknologi menjadi dominasi khusus dunia Barat (Young, 1077), dengan demikian setiap Muslim yang berminat mendalami bidang-bidang ini harus mengikuti term-term yang ditentukan oleh Barat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Sehingga dalam beberapa kasus sering terjadi para saintis Muslim, secara sadar atau tidak, tercerabut dari akar-akar keislaman, dan menjadi pembela fanatik Barat.

Dalam tulisan berikut konsep pendidikan Islam yang ditawarkan meliputi dua tahap, jangka pendek dan jangka panjang. Yang pertama melibatkan pertisipasi setiap individu Muslim, sedang yang kedua mencakup keterlibatan institusi, lembaga dan bahkan negara.

Diversifikasi Konsep Pendidikan Islam

Ahmed (1990) mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif dan berhasil.

Khan (1986) mendefinisikan maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
a. Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi.
c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan.
f. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.
Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977:

Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan ‘manusia yang baik dan bertakwa yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.

Oleh karena itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN (dulu IAIN).1 Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan “anak-anak muda enerjik yang berotak Jerman dan berhati Makkah� seperti yang sering dikatakan oleh mantan Presiden B.J. Habibie. Kata-kata senada dan lebih komprehensif diungkapkan oleh Al-Faruqi (1987) pendiri International Institute of Islamic Thought, Amerika Serikat, dalam upayanya mengislamkan ilmu pengetahuan. Sengaja saya kutip menurut teks aslinya untuk tidak mengurangi semangan universalitas Islam yang terkandung di dalamnya:

Islamization does not mean subordination of any body of knowledge to dogmatic principles or arbitrary objectives, but liberation f rom such shackles. Islam regards all knowledge as critical; i.e., as universal, necessary and rational. It wants to see every claims pass through the tests of internal coherence correspondence with reality, and enhancement of human life and morality. Consequently, the Islamized discipline which we hope to reach in the future will turn a new page in the history of the human spirit, and bring it clear to the truth.

Di sini perlu ditekankan bahwa konsep pendidikan dalam Islam adalah long life education atau dalam bahasa Hadits Nabi sejak dari pangkuan ibu sampai ke liang lahat� (from the cradle to the grave). Itu berarti pada tahap-tahap awal, khususnya sebelum memasuki bangku sekolah, perang orang tua terutama ibu amatlah krusial dan menentukan mengingat pada usia balita inilah pendidik, dalam hal ini orang tua, memegang peran penting di dalam menanamkan nilai-nilai keislaman kepada anak. Sayangnya orang tua bukanlah satu-satunya pendidik di rumah, ada pendidik lain yang kadang-kadang peranannya justru lebih dominan dari orang tua yang di Barat disebut dengan idiot box atau televisi. Dampak lebih jauh televisi terhadap perkembangan anak balita seperti yang dikatakan Hiesberger (1981) bisa mengarah pada “a dominant voice in our lives dan a major agent of socialization in the lives of our children� (menjadi suara dominan dalam kehidupan kita dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anak-anak kita).

Tentu saja peran orang tua tidak berhenti sampai di sini, keterlibatan orang tua juga diperlukan pada fase-fase berikutnya ketika anak mulai memasuki usia sekolah, baik SD, SMP, maupun SMU. Menjelang mas pubertas yakni pada usia antara dua belas sampai delapan belas tahun anak menjalani episode yang sangat kritis di mana sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat tergantung pada periode ini. Robert Havinghurst, pakar psikolog Amerika, menyebutkan periode ini sebagai “developmental task� atau proses perkembangn anak menuju usia dewasa.

Apabila kita kaitkan periode developmental task ini pada aspek budaya kehidupan anak-anak Muslim, khususnya mereka yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau di negara Islam tapi di kota-kota besar, dapat dibayangkan situasi yang mereka hadapi. Mereka tidak pernah atau jarang melihat sikap positif terhadap Islam, baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat. Dalam situasi seperti ini tentu merupakan tanggung jawab orang tua untuk menanamkan nilai0nilai moral, barbagi pengalaman kehidupan Islami yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada internalisasi misi Al-Qur’an dan Sunnah. Peran orang tua seperti ini akan sangat membantu anak dalam memasuki kehidupan yang fungsional sebagai Muslim yang dewasa dan sebagai anggota yang aktif dalam komunitas Islam. Apabila anak menampakkan tanda-tanda sikap yang negatif terhadap Islam yang disebabkan oleh pengaruh dari sekolah atau masyarakat atau karena kecerobohan dan kelengahan orang tua, maka hal ini akan mengakibatkan penolakan anak terhadap hidup Islami dan akan gagal berintegrasi dengan komunitas Islam.

Oleh karena itu adalah tugas orang tua, khususnya dan utamnya, untuk mengatur strategi yangtepat dalam rangka membantu proses pembentukan pribadi anak khususnya dalam periode developmental task tersebut.. Dalam hal ini orang tua haruslah memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Kedua, mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Persoalannya adalah secara factual tidak semua orang dapat memenuhi criteria-kriteria di atas yang disebabkan oleh hal-hal sebagai beriktu: (a) Orang tua, terutama ibu, tidak memiliki wawasan pengetahuan yang mempuni, khususnya di bidang pegagodi anak dan nilai-nilai dasar Islami. Dalam situasi semacam ini orang tua perlu mengambil langkah-langkah beriktu sebagai upaya mengantra anak menuju pintu gerbang masa depan yang cerah, sehat dan agamis.

Pertama, mendatangkan guru privat agama pada waktu usia anak di abwah dua belas tahun untuk mengajarkan nilai-nilai dasa Islam, termasuk cara membaca Al-Qur’an dan Hadits. Pada usia tiga belas tahun sampai dengan delapan belas tahun kandungan makna Al-Qur’an dan Hadits mulai diajarkan dengan metode yang praktis, sistematis dan komprehensif, mengingat pada periode ini anak sudah mulai disibukkan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Dengan demikian diharapkan ketika memasuki bangku kuliah anak sudah memiliki gambaran yang utuh dan komprehensif tentang Islam, beserta nilai-nilai abadi yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia tidak akan mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan dan pengaruh-pengaruh luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, minimal ia akan tahu ke mana jalan untuk kembali ketika, oleh pengaruh eksternal yang terlalu kuat, ia melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai-nilai Islam.

Kedua, menyekolahkan anak sejak dari SMP sampai SMU di lembaga-lembaga Islam semacam pesantren modern yang saat ini sudah banyak memiliki sekolah-sekolah umum yang berkualitas. Ketiga, memasukkan anak sejak TK sampai SMU di lembaga-lembaga pendidikan yang memakai lebel Islam, seperti yayasan Muhammadiyah, yayasan NU, yayasan al-Azahar dan lain-lain. Akan tetapi alternatif ketiga ini dalam pengamatan penulis tidak begitu efektif. Salah satu sebabnya adalah karena kurang komprehensifnya kurikulum keislaman di dalamnya. Kendatipun begitu, ini jauh lebih baik disbanding, misalnya, memasukkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim. Memang menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim tidak berarti anak tersebut akan terkonversi ke agama lain, tetapi dampak minimal yang tak terhindarkan adalah timbulnya sikap skeptis dan apatis anak terhadap Islam.

Alhasil, semakin kuat nilai-nilai agama tertanam akan semakin kokoh resistansi anak terhadap pengaruh-pengaruh negatef dari luar. Studi kasus yang diadakan oleh Francis (1997) terhadap 20.968 anak remaja dari seratus sekolah yang tersebar diInggris dan Wales, menguatkan pendapat ini.

Reformasi Paradigma Pendidikan

Secara faktual hampir seluruh negara-negara Islam2 baru terlepas dari belenggu penjajahan Barat di akhir abad dua puluh tepatnya sekitar 1950-an. Pada umumnya terjadinya pemindahan kekuasaan dari penjajah ke tangan pribumi menimbulkan terjadinya perubahan politik di negara-negara tersebut yang sebagai akibatnya tertundanya reformasi pendidikan yang dicita-citakan sebelumnya. Rezim kekuasaan yang baru pasca kolonialisme tidak mampu memfokuskan diri pada tugas ini. Fokus utama mereka adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan di tengah-tengah terjadinya kekacauan politik. Oleh karena itu pegnembangan dan reformasi pendidikan menjadi terabaikan untuk beberapa waktu. Pendidikan hanya menjadi bagian dari retorika politik dan rencana-rencana pengembangan pendidikan terartikulasi tanpa adanya pencapaian yang berarti. Dewasa inipun anggaran negara yang dicangkan untuk program pendidikan di negara-negara Islam relatif sangat rendah sehingga infrastruktur pendidikan yang mutlak diperlukan tidak atau jarang tersedia. Sebagai contoh Malaysia, negara Islam yang relatif maju program pendidikannya ini, menurut UNESCO (1996) hanya mengalokasikan dana U$D 82 perkapita, sementara Indonesia sendiri cuma mengalokasikan U$D 6 perkapita.

Hal ini menimbulkan dampak-dampak yang tidak efektif, seperti pelajar yang hendak memperdalam ilmunya terpaksa harus pergi ke luar negeri yang biayanya relatif lebih mahal apalagi kalau tujuan belajarnya di negara-negara maju. Sementara kecenderungan belajar ke luar negeri ini menimbulkan persoalan tersendiri khususnya bagi mereka yang secara ekonomis kurang mampu.

Dari ribuan mahasiswa yang belajar di luar negeri - kecuali yang belajar di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Australia yang umumnya berlatar belakang ekonomi menengah ke atas - yang tersebar di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) dan Timur Tengah (Mesir, Jordan, Syria, Sudan, dan lain-lain) mayoritas adalah berlatar belakang ekonomi lemah (kaum santri pedesaan) yang untuk biaya studi dan menunjang kehidupan sehari-hari harus banting tulang bekerja part-time yang beraneka ragam mulai dari bekerja sebagai staf local di kedutaan-kedutaan Indonesia setempat,3 mengajar privat, berwiraswasta (seperti yang dilakukan sebagian mahasiswa Mesir dengan membuka warnet atau agen perjalanan), menjaga warnet, sampai bekerja sebagai guide jamaah haji, baik travel ONH Plus maupun jamaah haji biasa yang dikenal dengan istilah pekerja TEMUS (tenaga musim atau seasonal worker).4 Apa yang dihasilkan mereka selama kerja part-time, termasuk guide haji, umumnya sangat pas-pasan dan tidak seimbang dengan terbuangnya waktu dan tenaga yang mereka keluarkan.

Di samping itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa di era Orde Baru pelajar mengalami banyak hambatan, khususnya untuk kuliah agama, untuk dapat belajar ke luar negeri apalagi untuk mendapatkan beasiswa. Bandingkan misalnya dengan Malaysia atau India. Para pelajarnya bukan hanya didorong untuk belajar ke luar negeri tetapi juga mendapat tawaran-tawaran beasiswa atau pinjaman-pinjaman jangka panjang yang menarik.5 Di era pasca Orba saat ini praktik-praktik mempersulit pelajar yang akan studi ke luar negeri masih saja terjadi yang dilakukan oleh berbagai pihak birokrasi yang terkait, mulai dari pengurusan paspor, permintaan rekomendasi, dan lain-lain hampir tak dapat dilakukan tanpa adanya uang pelicin di bawah meja.

Adanya amandemen konstitusi yang mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan itu sudah bagus tapi langkah ini tentu saja belum cukup, masih dibutuhkan sejumlah langkah reformasi lain di bidang pendidikan termasuk di antaranya menghilangkan praktik diskriminasi pengalokasian dana antara institusi pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag, perlunya peningkatan apresiasi kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa dengan cara memberikan kemudahan – bukan malah mempersulit – segala proses yang berkaitan dengan prosedur urusan pendidikan. Lembaga-lembaga Islam semacam pesantren perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, baik moril maupun finansial, karena lembaga-lembagasemacam inilah yang berperan besar membantu program pemerintahdi dalam melestarikan nilai-nilai dan spirit Islam di satu sisi serta pemberantasan buta huruf di sisi lain, khususnya di daerah-daerah pedesaan yang notabene menjadi tempat mayoritas rakyat Indonesia.

Di lain pihak lembaga-lembaga Islam tradisional semacam pesantren, khususnya pesantren salaf perlu melepaskan diri dari blue-print lamanya dan memodernisasi system dan metede pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern yang melajubegitu pesat. Secara histories sejak awal berdirina pada sekitar abad enam belas melewati masa penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi saa ini, pesatren salaf dikenal dengan sikapnya yang selalu menjaga jarak dengan kekuasaan (Federspiel, 1995) dan pemerintahpun enggan mendekati pesantren kecuali saat-saat menjelang PEMILU. Di “Orde Reformasi� ini sangat urgen adanya sikap kebersamaan antara lembaga-lembaga agama, khususnya lembaga Islam dengan pemerintah melalui pendekatan yang bersifat mutual respect (saling menghargai), mutual understanding (saling memahami) dan mutual need (saling membutuhkan) dengan tujuan yang pasti yaitu untuk semakin mendorong laju pertumbuhan pendidikan demi terciptanya jutaan pakar-pakar Iptek yang ber-imtak. Dalam hal ini sikap arogansi kekuasaan di satu pihak dan rasa inferioritas di pihak lain, mutlak harus dihapuskan.

Sementara itu sesuai dengan latar belakang dan kecenderungan yang berbeda, para ilmuwan terbagi dalam dua kategori yaitu, (a) ilmuwan agama, yakni ilmuwan yang mengadakan pengkajian khusus berbagai disiplin ilmu agama dan (b) ilmuwan umum, yakni para pakar yang mengambil spesifikasi berbagai disiplin ilmu duniawi kontemporer. Para ilmuwan umum tentunya akan ‘menggarap’ lading yang sesuai dengan bidang-bidang yang menjadi keahlian mereka masing-masing sementara fungsi para ilmuwan agama di sini adalah (a) sebagai meditor antara aspirasi umat dengan para pakar iptek, (b) mengadakan hubungan yang proporsional dengan para pakar komunikasi massa dalam rangka memanfaatkan media massa, khususnya televisi dan internet, sebagai upayaunifikasi dan pengembangan umat dan (c) menyatukan paradigma para pakar iptek Muslim bahwa apa yang akan, sedang dan telah diperbuat selalu mengandung dua dimensi yaitu pengabdian kepada Allah (ibadah) dan untuk kebaikan serta rahmat seluruh umat manusia (Nawwab, 1979). Yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada Islamisasi iptek sebagaimana yang dicita-citakan oleh Al-Faruqi di atas.

Penutup

Gambaran solusi Islami terhadap tantangan-tantangan pendidikan di era globalisasi di atas, bagaimanapun, merupakan disain besar, yang oleh sebagian kalangn mungkin dianggap terlalu romantis. Kendatipun bukan berarti mustahil dilakukan dengan melihat beberapa fenomena paling mutakhir di berbagai dunia Islam, khususnya Indonesia meliputi (a) semakin menipisnya dikotomi antara meminjam istilah Clifford Geertz Islam Santri dan Islam Abangan, (b) semakin banyaknya pakar iptek yang berlatar belakang santri, (c) semakin tipisnya friksi yang trjadi antara berbagai organisasi Islam yang disebabkan oleh semakin tajamnya visi Islam mereka dalam awal milenium ini dan (d) terjadinya perubahan dahsyat dalam konstalasi politik di Indonesia dari ‘demokrasi artifisial, menuju demokrasi yang relatif dapat diharapkan.

Untuk itu yang paling diperlukan guna mengimplementasikan blue-print di atas adalah visi yang jauh ke depan dan political will semua pihak yang terkait yaitu: individu-individu Muslim (termasuk orang tua), para pakar iptek dan agama, institusi-institusi pendidikan, lembaga-lembaga Islam serta pemerintah. Tanpa adanya unifikasi political will berbagai elemen di atas, umat Islam Indonesia akan tetap terbelakang. Dan bila demikian Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju, sebagaimana yang dikatakan oleh Sayidiman Suryohadiprojo, mantan gubernur Lemhanan
http://makalah-gratis.blogspot.com/search/label/Islam

makalah

ILMU PENDIDIKAN TENTANG MODEL - MODEL PEMBELAJARAN SOSIAL

BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Dalam kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari berbagai variabel pokok yang saling berkaitan yaitu kurikulum, guru/pendidik, pembelajaran, peserta. Dimana semua komponen ini bertujuan untuk kepentingan peserta. Berdasarkan hal tersebut pendidik dituntut harus mampu menggunakan berbagai model pembelajaran agar peserta didik dapat melakukan kegiatan belajar. Hal ini dilatar belakangi bahwa peserta didik bukan hanya sebagai objek tetapi juga merupakan subjek dalam pembelajaran. Peserta didik harus disiapkan sejak awal untuk mampu bersosialisasi dengan lingkungannya sehingga berbagai jenis model pembelajaran yang dapat digunakan oleh pendidik.

Model-model pembelajaran sosial merupakan pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan di kelas dengan melibatkan peserta didik secara penuh (student center) sehingga peserta didik memperoleh pengalaman dalam menuju kedewasaan, peserta dapat melatih kemandirian, peserta didik dapat belajar dari lingkungan kehidupannya.

2. TUJUAN

Makalah ini dirancang untuk mahasiswa Program S1 PGSD. Oleh sebab itu dalam penyajiannya diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang berbagai konsep model pembelajaran dan penerapan model pembelajaran di kelas.


3. TOPIK BAHASAN

Untuk meningkatkan pemahaman berbagai model pembelajaran, dalam makalah ini akan dibahas tentang :
a.Model pembelajaran partisipatif dalam pembelajaran yang berwawasan kemasyarakatan.
b.Model pendekatan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran yang berwawasan kemasyarakatan.
c.Model pembelajaran mandiri dalam pembelajaran yang berwawasan kemasyarakatan.

BAB II
PEMBAHASAN

2. MODEL PEMBELAJARAN PARTISIPATIF

A.Konsep Pembelajaran Partisipatif

Pembelajaran partisipatif pada intinya dapat diartikan sebagai upaya pendidik untuk mengikut sertakan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran yaitu dalam tahap perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program. Partisipasi pada tahap perencanaan adalah keterlibatan peserta didik dalam kegiatan mengidentifikasi kebutuhan belajar, permasalahan, sumber-sumber atau potensi yang tersedia dan kemungkinan hambatan dalam pembelajaran.

Partisipasi dalam tahap pelaksanaan program kegiatan pembelajaran adalah keterlibatan peserta didik dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk belajar. Dimana salah satu iklim yang kondusif untuk kegiatan belajar adalah pembinaan hubungan antara peserta didik, dan antara peserta didik dengan pendidik sehingga tercipta hubungan kemanusiaan yang terbuka, akrab, terarah, saling menghargai, saling membantu dan saling belajar. Partisipasi dalam tahap penilaian program pembelajaran adalah keterlibatan peserta didik dalam penilaian pelaksanaan pembelajaran maupun untuk penilaian program pembelajaran. Penilaian pelaksanaan pembelajaran mencakup penilaian terhadap proses, hasil dan dampak pembelajaran.

B.Ciri-ciri Pembelajaran Partisipatif
Berdasarkan pada pengertian pembelajaran partisipatif yaitu upaya untuk mengikutsertakan peserta didik dalam pembelajaran, maka ciri-ciri dalam kegiatan pembelajaran partisipatif adalah :
1.Pendidik menempatkan diri pada kedudukan tidak serba mengetahui terhadap semua bahan ajar.
2.Pendidik memainkan peran untuk membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
3.Pendidik melakukan motivasi terhadap peserta didik untuk berpartisipasi dalam pembelajaran.
4.Pendidik menempatkan dirinya sebagai peserta didik.
5.Pendidik bersama peserta didik saling belajar.
6.Pendidik membantu peserta didik untuk menciptakan situasi belajar yang kondusif.
7.Pendidik mengembangkan kegiatan pembelajaran kelompok.
8.Pendidik mendorong peserta didik untuk meningkatkan semangat berprestasi.
9.Pendidik mendorong peserta didik untuk berupaya memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya.

C.Peran Pendidikan Dalam Pembelajaran

Peran pendidik dalam pembelajaran partisipatif lebih banyak berperan sebagai pembimbing dan pendorong bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan pembelajaran sehingga mempengaruhi terhadap intensitas peranan pendidik dalam pembelajaran. Pada awal pembelajaran intensitas peran pendidik sangat tinggi yaitu untuk menyajikan berbagai informasi bahan belajar, memberikan motivasi serta memberikan bimbingan kepada peserta dalam melakukan pembelajaran, tetapi makin lama makin menurun intensitas perannya digantikan oleh peran yang sangat tinggi dari peserta didik untuk berpartisipasi dalam pembelajaran secara maksimal. Langkah-langkah yang harus ditempuh pendidik dalam membantu peserta didik untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran :

1. Membantu peserta didik dalam menciptakan iklim belajar
2. Membantu peserta didik dalam menyusun kelompok belajar
3. Membantu peserta didik dalam mendiagnosis kebutuhan pelajar
4. Membantu peserta didik dalam menyusun tujuan belajar
5. Membantu peserta didik dalam merancang pengalaman belajar
6. Membantu peserta didik dalam kegiatan pembelajaran
7. Membantu peserta didik dalam penilaian hasil, proses dan pengaruh kegiatan pembelajaran.

2. MODEL PENDEKATAN PEMBELAJARAN

A.Konsep Pendekatan Pembelajaran Kontekstual

Pendekatan pembelajaran kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar dilihat dari proses transfer belajar, lingkungan belajar. Dilihat dari proses, belajar tidak hanya sekedar menghapal. Dari transfer belajar, siswa belajar dai mengalami sendiri, bukan pemberian dari orang lain. Dan dilihat dari lingkungan belajar, bahwa belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Pembelajaran kontekstual (contextual learning) merupakan upaya pendidik untuk menghubungkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik, dan mendorong peserta didik melakukan hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Dalam penerapan pembelajaran kontekstual tidak lepas dari landasan filosofisnya, yaitu aliran konstruktivisme. Aliran ini melihat pengalaman langsung peserta didik (direct experiences) sebagai kunci dalam pembelajaran.

B.Perbedaan Pembelajaran Kontekstual dan Pembelajaran Konvensional
Karakteristik model pembelajaran kontekstual dalam penerapannya di kelas, antara lain :
1. Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran
2. Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi
3. Pembelajaran dihubungkan dengan kehidupan nyata atau masalah
4. Perilaku dibangun atas kesadaran diri.
5. Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman
6. Peserta didik tidak melakukan yang jelek karena dia sadar hal itu keliru dan merugikan.
7. Bahasa diajarkan dengan pendekatan komunikatif, yakni peserta didik diajak menggunakan bahasa dalam konteks nyata.

Karakteristik model pembelajaran konvensional dalam penerapannya di kelas, antara lain :
1. Siswa adalah penerima informasi
2. Siswa cenderung belajar secara individual
3. Pembelajaran cenderung abstrak dan teoritis
4. Perilaku dibangun atas kebiasaan
5. Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan
6. Peserta didik tidak melakukan yang jelek karena dia takut hukuman
7. Bahasa diajarkan dengan pendekatan struktural

Pembelajaran kontekstual memiliki perbedaan dengan pembelajaran konvensional, tekanan perbedaannya yaitu pembelajaran kontekstual lebih bersifat student centered (berpusat kepada peserta didik) dengan proses pembelajarannya berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan peserta didik bekajar dan mengalami. Sedangkan pembelajaran konvensional lebih cenderung teacher centered (berpusat kepada pendidik), yang dalam proses pembelajarannya siswa lebih banyak menerima informasi bersifat abstrak dan teoritis.

C.Komponen-komponen Pembelajaran Kontekstual
Peranan pendekatan pembelajaran kontekstual di kelas dapat didasarkan pada tujuh komponen, yaitu :
1.Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia didalam dirinya sedikit demi sedikit, yang hasilnya dapat diperluas melalui konteks yang terbatas.

2.Pencairan (inquiry)
Menemukan merupakan inti dari pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa merupakan hasil dari penemuan siswa itu sendiri.

3.Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan awal dari pengetahuan yang dimiliki seseorang. Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiriy, yaitu untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan pada aspek yang belum diketahui.

4.Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada komunikasi dua arah atau lebih, yaitu antara siswa dengan siswa atau antara siswa dengan pendidik apabila diperlukan atau komunikasi antara kelompok.



5.Pemodelan (Modeling)
Model dapat dirancang dengan melibatkan guru, siswa atau didatangkan dari luar sesuai dengan kebutuhan. Dengan pemodelan, siswa dapat mengamati berbagai tindakan yang dilakukan oleh model tersebut.

6.Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berfikir tentang sesuatu yang sudah dipelajari. Realisasi dari refleksi dalam pembelajaran dapat berupa:
a. Pernyataan langsung tentang sesuatu yang sudah diperoleh siswa
b. Kesan dan pesan/saran siswa tentang pembelajaran yang sudah diterimanya
c. Hasil karya

7.Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)
Assessment merupakan proses pengumpulan data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Assessment menekankan pada proses pembelajaran maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan pada saat melakukan proses pembelajaran. Karakteristik authentic assessment, yaitu :
a)Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung
b)Dapat digunakan untuk formatif maupun sumatif
c)Yang diukur adalah keterampilan dan penampilan bukan mengingat fakta
d)Berkesinambungan
e)Terintegrasi
f)Dapat digunakan sebagai feed back


3. MODEL PEMBELAJARAN MANDIRI

A.Konsep Pembelajaran Mandiri

Dalam rangka menuju kedewasaan, seorang anak harus dilatih untuk belajar mandiri. Belajar mandiri merupakan suatu proses, dimana individu mengalami inisiatif dengan atau tanpa bantuan orang lain.
1.Dapat mengurangi ketergantungan pada oran lain
2.Dapat menumbuhkan proses alamiah perkembangan jiwa
3.Dapat menumbuhkan tanggung jawab pada peserta didik
Berdasarkan hal tersebut pendidik bukan sebagai pihak yang menentukan segala-galanya dalam pembelajaran, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator atau sebagai teman peserta didik dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka.

B.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Belajar Mandiri
Banyak faktor yang mempengaruhi untuk tumbuhnya belajar mandiri, yaitu :
1.Terbuka terhadap setiap kesempatan belajar, belajar pada dasarnya tidak dibatasi oleh waktu, tempat dan usia
2.Memiliki konsep diri sebagai warga belajar yang efektif, seseorang yang memiliki konsep diri berarti senantiasa mempersepsi secara positif mengenai belajar dan selalu mengupayakan hasil belajar yang baik
3.Berinisiatif dan merasa bebas dalam belajar, inisiatif merupakan dorongan yang muncul dari diri seseorang tanpa dipengaruhi oleh orang lain, seseorang yang memiliki inisiatif untuk belajar tidak perlu dirangsang untuk belajar.
4.Memiliki kecintaan terhadap belajar, menjadikan belajar sebagai bagian dari kehidupan manusia dimulai dari timbulnya kesadaran, keakraban dan kecintaan terhadap belajar.
5.Kreativitas. Menurut Supardi (1994), kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun kerja nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
Ciri perilaku kreatif yang dimiliki seseorang diantaranya dinamis, berani, banyak akal, kerja keras dan bebas. Bagi seseorang yang kreatif, tidak akan kuatir atau takut melakukan sesuatu sepanjang yang dilakukannya mengandung makna.
6.Memiliki orientasi ke masa depan Seseorang yang memiliki orientasi ke masa depan akan memandang bahwa masa depan bukan suatu yang mengandung ketidakpastian.
7.Kemampuan menggunakan keterampilan belajar yang mendasar dan memecahkan masalah.

C.Peran Pendidik Dalam Belajar Mandiri
Dalam pembelajaran mandiri, tutor berperan sebagai fasilitator dan teman bagi peserta didik. Sebagai fasilitator, pendidik dapat membantu peserta didik dalam mengakrabi masalah yang dihadapi peserta didik, dan berupaya agar peserta didik dapat menemukan alternatif pemecahan masalah yang dihadapinya.
Peran lain yang harus dilakukan pendidik adalah sebagai teman. Pendidik berusaha menempatkan dirinya sama dengan peserta didik sebagai peserta yang mengharapkan nilai tambah dalam kehidupannya untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi, serta mengaktualisasikan dirinya.

BAB IV
KESIMPULAN

Model-model pembelajaran sosial merupakan pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan di kelas dengan melibatkan peserta didik secara penuh (student center) sehingga peserta didik memperoleh pengalaman dalam menuju kedewasaan, peserta dapat melatih kemandirian peserta didik dapat belajar dari lingkungan kehidupannya. Model-model pembelajaran sosial ini mencakup : model pembelajaran partisipatif, model pendekatan pembelajaran kontekstual, dan model pembelajaran mandiri.

Pembelajaran partisipatif pada intinya dapat diartikan sebagai upaya pendidik untuk mengikutsertakan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran, yaitu dalam tahap : perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program. Dalam menyiapkan anak untuk bersosialisasi di masyarakat, sejak dini anak harus sudah mengenal lingkungan kehidupannya. Model pembelajaran kontekstual merupakan upaya pendidik untuk menghubungkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik melakukan hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka.

Dalam rangka menuju kedewasaan, seorang anak harus dilatih untuk belajar mandiri. Belajar mandiri merupakan suatu proses, dimana individu mengambil inisiatif denganatau tanpa bantuan orang lain. Dalam pembelajaran mandiri menekankan pada keaktifan peserta didik yang lebih bersifat student centered daripada teacher centered sehingga pendidik lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan teman (partner).



DAFTAR PUSTAKA



Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Pendidikan Lanjutan Pertama. (2003). Pendekatan Kontekstual (Centered Teaching and Learning). Jakarta.

Sudjana, D. (2000). Strategi Pembelajaran. Bandung : Falah Production.

Hatimah, I. (2003). Strategi dan Metode Pembelajaran. Bandung : Andira.

Knowles, M. (1975). Self Directed Learning. Chicago : Follet Publishing Company.

http://anakciremai.blogspot.com/2008/09/makalah-ilmu-pendidikan-tentang-model.html

Kamis, 02 April 2009

CONTOH SURAT LAMARAN CPNS UMUM

Martapura, Nopember 2007

Kepada yth :
BUPATI BANJAR
Up. Kepala Badan Kepegawaian Daerah
Kabupaten Banjar
Di -
Martapura

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : H. ZAHID FATAHILLAH, SE
Tempat, tanggal lahir : Martapura, 07 Januari 1980
Usia pada tanggal 01/01/2008 : 28 Tahun, 0 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan/Jurusan : S-1 Ekonomi/Ekonomi Pembangunan
Alamat : Jalan Intan Baiduri No. 21 RT.03 RW.04
Karang Intan, Kabupaten Banjar 70611
Nomor telepon/HP : 08123456789

Dengan ini menyampaikan permohonan kepada Bapak, agar kiranya dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banjar, dengan jabatan ……………………(kode jabatan : ……….).

Sebagai bahan pertimbangan Bapak, bersama ini Saya lampirkan :
1. Foto copy Ijazah terakhir beserta transkripnya yang telah dilegalisir masing-masing 1 (satu) lembar,
2. Pas photo ukuran 3x4 cm sebanyak 4 (empat) lembar,
3. Foto copy Kartu Pencari Kerja (AK. I) yang telah dilegalisir sebanyak 1 (satu) lembar.

Demikian permohonan ini disampaikan, besar harapan Saya kiranya Bapak dapat mempertimbangkannya, sebelum dan sesudahnya diucapkan terima kasih.



Hormat Saya,

Ttd

H. ZAHID FATAHILLAH, SE


Catatan :
Kode Jabatan dapat dilihat pada pengumuman

Anak berbakat

Anak berbakat pada dasarnya memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Karena itu, diperlukan adanya penanganan khusus untuk anak-anak berpotensi luar biasa ini. Namun sayangnya, penanganan anak berbakat belum mendapatkan perhatian serius, baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat. Layanan pendidikan untuk anak berbakat di Indonesia masih relatif terbatas. Kesadaran para guru dan orangtua akan kebutuhan anak berbakat juga dirasa kurang.
Mengingat demikian pentingnya peran guru dan orang tua dalam mendampingi anak berbakat, diperlukan suatu penelitian untuk mengungkap sejauh mana guru dan orang tua memahami kebutuhan anak berbakat. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pandangan guru dan orang tua terhadap ciri-ciri anak berbakat dan usaha-usaha yang telah mereka lakukan untuk mengidentifikasi dan menangani anak-anak berbakat.
Penelitian ini bersifat eksploratif mengingat masih minimnya penelitian mengenai anak berbakat di Indonesia, khususnya di Surabaya. Metode yang digunakan adalah kualitatif-interpretatif. Subjek dalam penelitian ini adalah para guru (termasuk di dalamnya Kepala Sekolah dan wakil dari yayasan pendidikan) dari 11 sekolah yang ada di Surabaya dan tiga orangtua anak berbakat. Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur. Untuk membantu proses pencatatan data digunakan alat perekam (tape recorder). Teknik pemeriksaan data yang dipakai adalah perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, dan pemeriksaan sejawat melalui diskusi. Pemeriksaan data menunjukkan bahwa data relatif bisa dipercaya dan cukup absah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden umumnya memandang keberbakatan lebih sebagai ‘performansi’ (prestasi dan perilaku belajar di kelas yang tampak) daripada sebagai ‘potensi’. Dengan demikian, para guru cenderung menganggap karakteristik ‘anak berbakat’ sama dengan karakteristik ‘anak berprestasi’. Mereka melakukan identifikasi terhadap anak berbakat hanya berdasarkan pada hasil prestasi belajar dan pengamatan terhadap perilaku belajar di kelas. Sebagai akibat dari pemahaman yang keliru terhadap pengertian keberbakatan ini, anak berbakat yang berprestasi kurang (underachiever) luput dari perhatian guru. Dalam hal penanganan anak berbakat, sebagian besar responden guru (83%) menyatakan bahwa mereka belum melakukan upaya-upaya penanganan khusus untuk anak-anak berbakat. Hanya 1 sekolah yang telah menyelenggarakan kelas akselerasi. Beberapa sekolah yang lain ragu-ragu bahkan menolak untuk membuka kelas akselerasi karena mengkhawatirkan dampak negatifnya terhadap perkembangan sosio-emosional anak, biaya penyelenggaraan kelas akselerasi yang terlalu mahal, dan terbatasnya kompetensi pengajar serta rancangan kurikulum yang sesuai untuk anak berbakat.
Sementara itu, para orangtua anak berbakat telah melakukan identifikasi terhadap keberbakatan anak sejak dini melalui pengamatan sehari-hari dan tes inteligensi yang dilakukan oleh psikolog. Usaha-usaha yang mereka lakukan tergolong optimal, di antaranya dengan menyediakan fasilitas belajar, melatih sendiri anak dengan berbagai macam ketrampilan, serta mengusahakan pendidikan formal (sekolah) yang terbaik sesuai dengan keberbakatan anak. Namun, seringkali orangtua mengalami kekecewaan karena sekolah pada umumnya belum memberikan layanan pendidikan khusus untuk anak berbakat. Selain itu, para guru dianggap masih sulit memahami ciri-ciri khusus dari anak berbakat sehingga seringkali mereka salah paham dengan perilaku anak.
Beberapa saran yang diusulkan dalam penelitian ini antara lain adalah: (1) penyebarluasan informasi dan pelatihan kepada para guru dan calon guru tentang masalah-masalah keberbakatan, di antaranya mengenai ciri-ciri anak berbakat, berbagai alat ukur untuk mengidentifikasi keberbakatan, dan program-program penanganan khusus untuk anak berbakat di samping kelas akselerasi; (2) tersedianya sistem pendukung untuk para guru dan sekolah dalam proses identifikasi dan penanganan anak berbakat; (3) perlunya upaya-upaya untuk mengembangkan ketrampilan sosial dan kemampuan berempati pada anak berbakat; dan (4) peningkatan kerjasama antara guru dan orangtua dalam proses identifikasi dan penanganan anak berbakat.

guru

PERAN GURU DALAM MEMBANGKITKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA

Oleh M. Sobry Sutikno

Pembelajaran efektif, bukan membuat Anda pusing, akan tetapi bagaimana tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan mudah dan menyenangkan. - M. Sobry Sutikno - Motivasi berpangkal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Adapun menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan di dahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc. Donald ini mengandung tiga elemen/ciri pokok dalam motivasi itu, yakni motivasi itu mengawalinya terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan.

Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. Motivasi ada dua, yaitu motivasi Intrinsik dan motivasi ektrinsik.

Ø Motivasi Intrinsik. Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.

Ø Motivasi Ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.

Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah masalah bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa yang demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperhatikan penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan. Berbagai gangguan yang ada disekitarnya, kurang dapat mempengaruhinya agar memecahkan perhatiannya.

Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Di sini tugas guru adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan belajar.
Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, sebagai berikut:

1. Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik.

Pada permulaan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai Tujuan Instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siwa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.

2. Hadiah

Berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat mereka untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar siswa yang berprestasi.

3. Saingan/kompetisi

Guru berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.

4. Pujian

Sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian. Tentunya pujian yang bersifat membangun.

5. Hukuman,

Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan berusaha memacu motivasi belajarnya.

6. Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar,

Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik.

7. Membentuk kebiasaan belajar yang baik

8. Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok

9. Menggunakan metode yang bervariasi, dan

10. Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran

http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/category/makalah-perencanaan-pembelajaran/