Selasa, 30 Juni 2009

Negara Tanpa Kedaulatan

Jakarta - Presiden pertama Republik Indonesia Ir Soekarno pernah mengatakan bahwa kekayaan Indonesia tidak akan diserahkan kepada pihak asing. Ia lebih memilih untuk menunggu putra-putri terbaik republik ini untuk mengelola sumber-sumber itu.

Pernyataan Soekarno itu dibuktikan dengan menolak proposal perusahaan asing yang ingin mengeksploitasi sumber alam Indonesia. Namun, ketika Soekarno terguling dari tampuk kekuasaan penggantinya Soeharto mulai membuka investasi asing seluas-luasnya. Tujuannya untuk mempercepat proses pembangunan. Walhasil banyak sumber alam dan aset negara diserahkan ke asing.

Sejak tahun 1969 sampai saat ini tercatat 80 persen sumber daya alam dan aset
Indonesia telah dikuasai asing. Sekitar 70 persen sumber daya alam dan aset penting itu dikuasai oleh Amerika Serikat.

Penjualan aset dan penguasaan sumber daya alam yang penting itu terus berlangsung selepas Soeharto lengser. Tahun 2002, misalnya, PT Indosat dijual ke Singapura Technologies dan Telemedia (STT) seharga 5,62 triliun. Kemudian 6 Juni 2008 Indosat dijual oleh STT ke Qatar Telecomunication (Qtel) seharga US$ 1,8 miliar atau Rp 16,740 triliun dengan kurs 9.300/US$. Itu artinya Singapura meraup untung 11,678 triliun. Lalu siapa yang dirugikan? Jelas Indonesia. Berapa triliun yang harus dikeluarkan kalau negara ini mau beli lagi

Alasan tim ekonomi pemerintah dan para pendukung divestasi Indosat saat itu adalah untuk menciptakan 'fair competition' di bidang telekomunikasi. Agar terbina perkembangan bisnis telekomunikasi yang terlepas dari jerat monopoli negara dan pemerintah demi terwujudnya pasar yang efektif dan efisien.

Apakah benar demi fair competition. Sejauh yang diketahui publik, STT bersama
Singapore Telecommunication (SingTel) adalah anak perusahaan yang bernaung di bawah perusahaan milik pemerintah Singapura yakni Temasek Holding (Pte) Ltd. Lalu, dengan penetapan STT sebagai pemenang tender divestasi Indosat menjadikan
perusahaan tersebut menguasai dan mengontrol bisnis selular Satelindo dan IM3.

Kemudian SingTel sebagai anak Temasek yang lain telah menguasai 35 persen saham
penyelenggara selular Telkomsel. Dengan demikian, mayoritas industri selular Indonesia ketika itu dikuasai Temasek Holding. Artinya Singapura telah memonopoli bisnis selular di Indonesia.

Dengan demikian alasan fair competition kelihatannya hanya drama saja. Tampaknya ada kepentingan segelintir golongan yang ingin mendapat keuntungan. Tentu saja yang dirugikan lagi-lagi adalah rakyat bangsa ini.

Sejak itu di udara kita tak lagi berdaulat. Satelit Palapa dan Indosat otomatis dikuasai asing. Lewat penguasaan udara itu kita praktis sudah dijajah karena hampir semua pembicaraan telepon, faks, pengiriman data, gambar harus melalui satelit yang sudah dikuasai asing.

Dari sisi keamanan negara tentu saja bangsa ini tak lagi memiliki kemampuan pengamanan teritorial di bidang telekomunikasi. Ini tentu saja memengaruhi kinerja pengamanan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Jauh sebelum itu keterlibatan asing di republik ini sudah sampai di ujung timur negeri ini. Adalah Pegunungan Grasberg di Papua yang menjadi sasaran keserakahan multinasional corporation. Di sana tanah dan airnya tak lagi bisa dinikmati anak bangsa.

Perusahaan pertambangan emas, perak, dan tembaga milik Freeport Mcmoran asal Amerika sudah bercokol hampir 32 tahun. Mengeruk sedalam-dalamnya hasil bumi yang bisa dikeruk yang kemudian meninggalkan ratusan kawah dan tanah tandus.

Menurut company profile-nya, pada tahun 2002 Freeport telah mencapai rekor volume penjualan tembaga sebesar 1,5 juta poud net; 2,3 juta ons emas, dan mengapalkan rata-rata 2,8 juta metrik ton per tahun. Tapi, company profile tersebut tidak menjelaskan hasil tambang lain, seperti uranium, yang juga terkandung di dalam tanah masyarakat Papua itu.

Selain itu, tanah Minahasa juga sudah dikuasai PT Newmont. Penggalian hasil tambang emas di Buyat itu hanya meninggalkan berbagai penyakit pada penduduk kampung. Bahkan, Newmont juga sudah mulai mengelola tanah-tanah pertambangan di Sumatera Utara lewat anak perusahaannya, PT Newmont Pacific Nusantara. Newmont juga ada di Desa Tatebal, Kawasan Bukit Elang Nusa Tenggara Barat.

Namun, apa manfaatnya keberadaan berbagai perusahaan tambang tersebut bagi rakyat bangsa ini. Sudah hampir 40 tahun umur industri pertambangan mineral di negeri ini, mereka telah gagal membuktikan "mitos"-nya menjadi penopang perekonomian Indonesia. Apalagi mensejahterakan rakyat berdaulat bangsa ini.

Kontribusi sektor ini hanya 1,3 - 2,3 triliun terhadap APBN dalam 4 tahun terakhir. Lebih kecil dari sektor kehutanan. Nilai tambahnya juga rendah karena bahan tambang diekspor dalam bentuk bahan mentah, ditambah rendahnya penyerapan tenaga kerja massal di tingkat lokal.

Sektor ini juga gagal menunjukkan tanggung jawabnya terhadap kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, dan penyelesaian konflik dengan penduduk lokal di lokasi-lokasi pertambangan.

Kekuasaan korporasi telah melampaui kemampuan negara mengontrol mereka. Sementara pemerintah lebih sibuk mengeluarkan perizinan tambang baru dan mengutip hasil rentenya. Di sektor perminyakan, perusahaan minyak asal Amerika Exxon Mobil sudah mengambil alih pengelolaan tambang minyak di Blok Cepu.

Pengambilalihan kekayaan sumber daya alam milik rakyat bangsa ini oleh pihak asing tidak berhenti sampai di situ. Privatisasi kemudian menjadi tren baru. Melalui undang-undang yang disahkan DPR kaki tangan kekuatan ekonomi neoliberal dan kapitalis internasional bisa langsung terjun bebas ke dalam sumber-sumber penting milik rakyat bangsa ini yang seharusnya dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Celakanya lagi, bahkan di sektor pendidikan pun, kebijakan liberalisasi telah pula diterapkan oleh pemerintahan SBY - JK. DPR telah menyetujui Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Itu artinya negara meminimalisir tanggung jawabnya atas pendidikan dan menyerahkan pada swasta.

Tunggu saja akibatnya. Pendidikan akan menjadi semakin mahal. Rakyat miskin tak akan mampu lagi mengecap pendidikan. Padahal dengan pendidikanlah mereka bisa memperbaiki taraf hidupnya. Keadaan ini tentu saja sudah bertolak belakang dari cita-cita bangsa yang ingin mencerdaskan kehidupan rakyat bangsa ini.

Tidak hanya itu. Pemerintahan SBY-JK di awal tahun 2008 sudah melepas 44 BUMN ke pasar saham. Menurut Menteri BUMN Sofyan Djalil alasan privatisasi itu untuk menutup defisit anggaran APBN dan untuk merestrukturisasi badan usaha milik negara.

Inilah pertama kalinya dalam sejarah Indonesia terjadi penjualan aset negara secara besar-besaran. Tak salah bila banyak pihak mengatakan tahun 2008 sebagai ledakan privatisasi. Kemungkinan langkah itu akan dilanjutkan jika mereka berdua kembali berkuasa pada Pilpres 2009 ini.

Dua alasan yang disampaikan Sofyan Djalil itu tidak jauh beda maknanya dengan pendahulunya. Yang terjadi sebenarnya administratur negara ini malas mikir dan bekerja. Mereka sudah terbiasa mencari keuntungan secara cepat yaitu dari rente.

Budayawan Seno Gumira Adjidarma melihat budaya ketergantungan terhadap asing itu sudah dimulai sejak zaman raja Jawa. Mereka itu, sebetulnya, tidak memiliki
kemampuan untuk bekerja.

Dengan kata lain para raja atau priyayi memiliki mental bersenang-senang. Tidak mau menderita dan malas bekerja. Andalan mereka adalah ngutang kepada pihak asing. Imbalannya para raja itu akan memberikan sesuatu yang pihak asing itu inginkan.

Mereka itu dinamakan Seno sebagai kaum borjuis Indonesia. Malangnya, kaum borjuis ini tidak seperti borjuis di Perancis yang hidup di atas modal yang menikmati kehidupan mewah berdasarkan hasil perdagangan (merkantilis).

Privatisasi pada tataran tertentu merupakan penerimaan terhadap konsep-konsep
kapitalisme gaya baru dalam bungkus neoliberalisme. Dalam perspektif ini privatisasi akan membawa dampak sangat negatif karena dalam jangka panjang akan mengalihkan aset nasional yang menguntungkan pihak asing dengan harga murah sesuai dengan skenario yang dirancang oleh mereka.

Indonesia akan terperangkap dalam jerat perdagangan bebas yang semakin meminggirkan kemampuan ekonomi rakyat sehingga jangka panjang privatisasi hanya akan menciptakan bangsa kuli di negeri sendiri.

Jebakan Neoliberal
Arus globalisasi yang didukung kuat neo-kapitalisme dan neo-liberalisme, menyebabkan kita sebagai bangsa menjadi limbung dan nyaris tak lagi memiliki ideologi dan identitas kebangsaan. Kita hanya sekedar menjadi pasar dari produk multinational corporation. Di lain pihak telah pula menjadi bangsa yang ketagihan dan menderita ketergantungan utang. Martabat bangsa tak lagi menjadi kebanggaan.

Bangsa ini semakin terjebak dalam kubangan sistem ekonomi neoliberal. Akibatnya hak-hak dasar warga negara telah dijadikan komoditas dagang. Bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya yang menurut Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dikuasai negara dan digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Semakin tidak jelas hubungannya dengan kesejahteraan rakyat.

Negara dikendalikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional dan perusahaan-perusahaan multinasional. Mayoritas rakyat bangsa ini terdzolimi, dieksploitasi, demi memenuhi kepentingan ekonomi sekelompok pemilik modal dan berkuasa.

Ada kecenderungan yang mencemaskan perasaan kita sebagai pemilik sah negeri ini. Semakin hilangnya kedaulatan nasional dalam berbagai aspek. Banyak pihak tidak mengetahui dan menyadari bahwa ketika tahun 1998 reformasi bergulir muncul banyak figur elit politik penumpang gelap gerbong kaum reformis alias elit politik reformis gadungan sekaligus menjadi komprador kekuatan asing untuk mengendalikan negeri ini secara invisible dan total.

Dengan isu globalisasi, HAM, demokratisasi, dan lingkungan hidup, kekuatan asing terutama negara-negara kapitalis sebagai pemenang perang dingin memulai memainkan skenario neo-imperialisme, neo-kolonialisme, neo-kapitalisme, dan neo-liberalisme sebagai bentuk baru penjajahan di dunia.

Semua negara terutama negara dunia ketiga termasuk Indonesia menjadi target dengan strategi, taktik, teknik, serta metoda yang lebih muktahir termasuk membangun jaringan dengan komprador di dalam negeri yang terdiri dari para elit politik reformis gadungan.

Kecenderungan situasi global dan nasional memperlihatkan bagaimana kerasnya kekuatan neo-kolonialisme, neo-kapitalisme, dan neo-liberalisme berusaha mencengkeram negeri ini. Serta, bagaimana peranan para elit politik reformis gadungan sebagai komprador membantu dan mengakomodir konsepsi penjajahan baru tersebut.

Dalam proses memaksakan konsepsi dan kehendak tersebut kekuatan asing ini menggunakan metode invansi dan subversi. Invansi telah dilaksanakan ke Afganistan dan Irak meskipun banyak ditentang oleh dunia Internasional. Bahkan, invansi berikutnya sedang dirancang untuk Iran dan Korea Utara.

Metode subversi dilakukan dengan cara tekanan ekonomi, HAM, lingkungan hidup, melalui berbagai LSM atau NGO (Non Governmental Organization) serta MNC (Multi National Corporation).

Kekuatan asing imperialisme ini bertujuan untuk:

(i) Memaksakan proses demokratisasi ideologi dan politik di berbagai negara dunia ketiga termasuk Indonesia;
(ii) Memaksakan proses liberalisasi di berbagai bidang kehidupan masyarakat terutama di negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia;
(iii) berusaha secara paksa untuk merebut pengaruh politik sehingga mampu mengendalikan proses politik di berbagai negara dunia ketiga termasuk Indonesia;
(iv) berusaha secara paksa menguasai sumber-sumber ekonomi potensial di berbagai negara dunia ketiga termasuk Indonesia; dan
(v) berusaha untuk menciptakan tatanan dunia sebagai "one world with different cultures" dengan AS sebagai polisi dunia.

Selanjutnya, kekuatan asing ini dalam melaksanakan konsepsinya menggunakan strategi memaksakan perubahan perundang-undangan di negara sasaran, dan di Indonesia langkah ini dimulai dengan terbitnya berbagai perundang-undangan yang cenderung liberal.

Jaringan subversi kekuatan asing yang bertindak sebagai agen pengendali adalah lembaga-lembaga internasional yang telah dikuasainya. Antara lain: PBB melalui UNDP (United Nations Development Program), Bank Dunia, IMF, Nathan Associates Inc, And Checehi and Company Consulting Inc and Partner termasuk REDE (semuanya berasal dari AS), ODA, EU-MEE, HDC, AUSAID, Delegation of the European Commission to Indonesia (semua berasal dari Eropa dan Australia) dan Concultative Group on Indonesia (CGI).

Sedangkan yang bertindak sebagai agen utama prinsipil terdiri dari beberapa LSM asing yang berkolaborasi dengan beberapa LSM dalam negeri, yaitu: Partnership for Goverment Reform (PGR), USAID terdiri dari Ellips Project, NDI, Partnership for Econonic Group (PEG), JICA, Ford Foundation, IDEA Indonesia (jaringan NGO Jerman), dan Transparancy International (TI) yang berpusat di Berlin (lihat Lembaga Kajian Krisis Nasional (LKKN), NKRI Di Era Reformasi: Ancaman Neo Imperialisme Neo Kolonialisme, Neo Kapitalisme, Neo Liberalisme, Jakarta, Tanpa Tahun, hal. 6-7).

Ada pun orang-orang asing yang menjadi operator pembuatan undang-undang yang
"bergentayangan" di berbagai departemen, antara lain:
(i) Departemen Keuangan: Arthur J. Mann dan Burden B. Stephen V. Marks (ahli perpajakan);
(ii) Bank Indonesia: Thomas A. Timberg penasehat bidang skala kecil dan Susan L Baker konsultan bidang Konstrukturisasi Perbankan;
(iii) Deperindag: Etephen L Magiera ahli Perdagangan Internasional dan Gary Goodpaster ahli desentralisasi, internal carriers to trade and local discriminatory action;
(iv) Kementerian Usaha Kecil dan Menengah Koperasi: Robert C Rice ahli small and medium enterprice;
(v) Kementerian Kominfo: Harry F Darby ahli regulasi komunikasi;
(vi) Departemen Perhubungan: Richard Belenfeld dan Don Frizh konsultan PEG bidang pelayaran dan pelabuhan; dan
(vii) Departemen Hukum dan HAM: Paul H Brietzke legal advisor.

Hasil yang telah dicapai jaringan subversi asing dalam produk undang-undang di
Indonesia adalah:

(1) Produk Hukum Yang Dihasilkan oleh Ellips Project :
a) UU No 5 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
b) UU No 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
c) UU No 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
d) UU No 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.
e) UU No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
f) UU No 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
g) UU No 19 Tahun 2003 Tentang Hak Cipta.
h) UU No 18 Tahun 2003 Tentang hak Advokat.
i) UU No 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas RUU Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
j) Draf akademik yang disiapkan adalah: RUU Rahasia Negara, RUU Perintah Transfer Dana, dan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik.

(2) Produk Hukum Yang Dihasilkan oleh PEG (Partnership for Economic Growth):
a) UU No 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.
b) UU No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
c) UU No 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
d) UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
e) UU No 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 6 Tahun 1993 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
f) UU No 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
g) UU No 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
h) UU No 25 Tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004.
i) UU No 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
j) UU No 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan.
k) UU No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.
l) UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
m) UU No 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi.
n) UU No 3 Tahun 2004 Perubahan Atas UU No 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
o) UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
p) UU No 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.
q) UU No 32 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Pemerintah Daerah.
r) UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.

(3) Produk Hukum yang Dihasilkan oleh ACIL ILO (American for International Labour Solidarity ILO):
a) UU No 22 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
b) UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
c) UU No 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

(4) Produk Hukum Yang Dihasilkan oleh PGR (Partnership for Government Reform):
a) UU No 26 Tentang Pengadilan HAM.
b) UU No 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik.
c) UU No 37 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan.
d) UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e) UU No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif.
f) UU No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
g) UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
h) UU No 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara.
i) UU No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
j) UU No 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik.
k) UU No 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan wakil Presiden.
l) UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
m) UU No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
n) UU No 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
o) UU No 8 Tahun 2004 Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Umum.
p) UU No 9 Tahun 2004 Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang
Perdilan Tata Usaha Negara.
q) UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
r) UU No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.

Beberapa fakta yang diungkapkan di atas telah cukup memberikan gambaran bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara faktual tidak lagi berdaulat. Namun, telah masuk dalam perangkap kekuatan subversi asing dengan bantuan para komprador di dalam negeri.

Intinya, buah dari reformasi adalah telah menyeret bangsa ini ke arah liberalisasi besar-besaran dalam segala aspek. Itu tergambar dari berbagai produk perundang-undangan yang dihasilkan sebagaimana telah diuraikan di atas. Tak terbantahkan. Dari sekian banyak perundang-undangan tersebut tidak ada satu pun yang berorientasi atau menjamin kesejahteraan dan hak-hak dasar rakyat bangsa ini.

Rakyat bangsa ini terancam hidup dalam kemiskinan massal. Mengapa? Karena seperti telah diungkapkan di atas bangsa dan negara ini semakin dalam terjerat dalam perangkap kekuatan subversi asing. Sekarang ini modal kapitalis asing bebas bergerak hingga kepelosok desa di negeri ini --sistem perekonomian nasional tak lain merupakan subsistem perekonomian global kapitalistik.

World Bank, IMF, dan WTO menjadi agen neo-imperialisme yang "menjerat" batang leher ekonomi rakyat. Utang Indonesia semakin besar. Kewajiban membayar bunga dan cicilan utang makin besar juga. Lantas apa yang tersisa lagi untuk membangun ekonomi rakyat. Jelas tidak ada.

Kapitalisme yang tumbuh di negeri ini jelas telah memiskin rakyat. Patokan harga BBM dirancang sangat tinggi. Tak heran pemerintah terus menerus berupaya menaikkan harga BBM. Akibatnya mayoritas rakyat bangsa ini terkena dampaknya karena harga-harga bahan pokok semakin melampung tak terjangkau oleh isi saku kusam mereka yang pada gilirannya asap dapur mereka pun jarang mengebul.

Bahkan, kapitalisme telah masuk pada sektor pengecer (retailer), Super Mall atau Super Market, seperti Carefour, Giant, Hypermark, dan lain-lain berdiri dengan megahnya. Mulai dari Ibu Kota negara hingga kabupaten di negeri ini yang telah menyebabkan pasar-pasar tradisional mati secara perlahan. Lalu, apalagi yang dapat diecer oleh rakyat bangsa ini. Jika tahu dan tempe pun dapat dibeli di berbagai super market ber AC tersebut.

Mengapa semua itu bisa terjadi? Karena momentum reformasi dan transisi demokrasi telah dibajak oleh kepentingan elit-elit politik yang tak kalah korupnya dengan elit-elit politik rezim Orde Baru dan memperhamba diri kepada kuasa pemilik modal. Elit-elit politik Orde Baru yang bertopeng reformis dan elit-elit politik reformis gadungan senyatanya semakin dalam mengakumulasi pengerukan kekayaan alam, penghancuran lingkungan hidup, pengisapan tenaga-tenaga rakyat, dan menyuburkan kekerasan.

Proses-proses penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat ini telah mengakibatkan terjadinya krisis yang tidak terpulihkan. Krisis ekonomi semakin tak terpulihkan karena semua kekayaan rakyat bangsa ini dikuasai oleh segelintir elit politik dan pemilik modal. Pemilik-pemilik modal internasional telah menekan elit pemerintahan supaya memperoleh kemudahan-kemudahan akses dan penguasaan sumber-sumber kemakmuran rakyat, aset negara (BUMN), keringanan pajak, dan lain-lain.

Perekonomian nasional telah menghamba pada sistem kapitalisme global. Senyatanya hal itu terlihat sejak era reformasi ini dengan berbagai produk perundang-undangan seperti telah diuraikan di atas. Terutama perundang-undangan yang memberi akses seluas-luasnya bagi kepentingan pemilik modal dalam dan luar negeri atas sumber-sumber kemakmuran rakyat.

Seperti misalnya tergambar dalam UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU Ketenagalistrikan, UU Perkebunan, dan Perpu No 1 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU BHP. Bahkan, krisis sosial budaya terjadi karena proyek-proyek pembangunan dan perluasan investasi telah meluluhlantakkan basis sosial dan kebudayaan rakyat di seluruh penjuru negeri ini.

Konflik sosial antara rakyat dan negara, rakyat dan pemodal, juga rakyat dan rakyat semakin marak belakangan ini. Ambruknya sistem kebudayaan rakyat menjadikan rakyat tak mampu melakukan reproduksi sosial bagi keberlanjutan generasi mendatang.

Sementara itu, krisis ekologi terjadi karena negara, pemodal, dan sistem pengetahuan dan teknologi telah mereduksi alam menjadi obyek komoditi yang bisa direkayasa dan dieksploitasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi secara instan. Ekspansi sistem monokultur, eksploitasi hutan, industri pertambangan telah mengganggu dan menghancurkan fungsi-fungsi ekologi dan keseimbangan alam.

Privatisasi kekayaan alam hanya dipersembahkan semata-mata untuk mengejar keuntungan pemilik modal. Bahkan, dengan alasan konservasi sekali pun telah menjauhkan akses dan kontrol rakyat pada sumber-sumber kemakmuran. Pada gilirannya berbagai bencana lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, kekeringan, pencemaran, dan krisis air telah menjadi bencana yang harus diderita dan ditanggung oleh rakyat bangsa ini dari tahun ke tahun.

Menurut catatan Bakornas sejak tahun 1998 (setahun setelah jatuhnya Presiden
Soeharto hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan korban sekitar 2.000 orang. Ini belum termasuk korban Tsunami Aceh, gempa Yogya dan Bengkulu-Sumbar. Di mana 85% dari bencana tersebut merupakan banjir dan longsor.

Hal ini menunjukkan bahwa bencana terbesar yang terjadi justru bencana yang bisa diatasi, diantisipasi kejadian dan resikonya. Bencana banjir dan tanah longsor adalah bencana yang terjadi bukan hanya karena faktor alamiah alam. Namun, lebih dikarenakan campur tangan manusia terhadap penghancuran lingkungan hidup. Sebagian besar adalah "bencana buatan" yang terencana secara sistematis akibat lemahnya tanggung jawab otoritas negara, buruknya kebijakan, dan tidak konsistennya penegakkan hukum.

Sumber daya alam kita yang terkuras habis secara brutal dan serakah hanya dinikmati oleh segelintir orang pemilik modal. Tetapi, harus dibayar mahal oleh
sebagian rakyat bangsa ini.

Butuh Perubahan Fundamental
Singkatnya, bahwa krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial budaya, dan krisis ekologi ini, tak terbantahkan karena telah terjadi erosi nilai kedaulatan dan keadilan yang kemudian bertemu dalam erosi kesejahteraan.

Erosi kedaulatan ini nampak dalam fenomena semakin sirnanya hak menentukan nasib sendiri, baik di tataran negara bangsa maupun di tataran satuan-satuan politik yang lebih kecil. Yang terkecil di antaranya adalah tataran desa, bahkan keluarga. Sedangkan erosi keadilan adalah narasi tentang ketimpangan distribusi manfaat dari tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Baik intra maupun trans-generasi.

Kemiskinan kemudian menjadi indikator terjadinya erosi kedaulatan dan keadilan. Kemiskinan ini terjadi akibat merosotnya tingkat kesejahteraan rakyat serta ketahanan dan keberlanjutan kehidupan rakyat. Sehingga kemiskinan kemudian dapat dipahami sebagai hilangnya potensi ketahanan dan keberlanjutan fisik serta potensi ketahanan dan keberlanjutan sosial atau keduanya dapat disatukan sebagai hilangnya ketahanan dan keberlanjutan lingkungan hidup.

Tampaknya perahu yang bernama Republik Indonesia ini akan karam bila tidak cepat-cepat diselamatkan. Untuk menyelamatkan negeri ini hanya bisa dilakukan dengan political will yang kuat dari kepemimpinan nasional. Artinya, pemimpin yang terpilih harus berani mengubah seluruh kebijakan dalam sektor ekonomi. Semua kontrak-kontrak dan UU yang berbau neoliberal menguntungkan pihak asing harus direvisi.

Singkatnya, kita butuh perubahan yang fundamental. Bukan hanya janji dan citra. Perubahan yang perlu dilakukan adalah agar terjadi perubahan dari sejarah kebangkitan elit menjadi awal dari sejarah kebangkitan rakyat berdaulat dan awal dari kejayaan Indonesia. Marilah kita rakyat Indonesia yang berdaulat menyatukan tekad dan bersepakat 'saatnya berdaulat untuk melanjutkan kebijakan neoliberal pemerintahan saat ini'.

Restianrick Bachsjirun
Jl H Ahyar No 17B Duren Sawit Jakarta Timur
restianrick@yahoo.com
085921755345

http://suarapembaca.detik.com/read/2009/06/30/121212/1156337/471/negara-tanpa-kedaulatan